Rabu, 02 Mei 2012

Ir. Soekarn


Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
 meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.


Mohammad Hatta
Dr.(H.C.). Drs. H. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta

Masa jabatan
18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956
Presiden
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Pengganti

Masa jabatan
29 Januari 1948 – 5 September 1950
Presiden
Pendahulu
Pengganti

Masa jabatan
29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949
Presiden
Pendahulu
Pengganti

Lahir
Meninggal
Kebangsaan
Partai politik
Non Partai
Suami/Istri
Anak
Agama
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang dan pendidikan
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.

 Ki Hadjar Dewantara

Author: Admin | Posted at: 08:05 | Biografi, Tokoh Nasional
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilgonSDNz8RG6PwdYtO0r-12PYCHwAuM81V97Lz1wkd8bfkKBwAMzwQWCkXX1NS3SFQOFnhETqHgMtGAOmrldlpsts49c3d23oNr2knxsv8nCrM8reGWNelv6r6ttUOOgxG3JV50qPgfjd/s200/Ki+Hajar+Dewantara.jpg 
Ki Hadjar Dewantara

            Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
 Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah. Masa muda awal krirnya.
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat

Aktivitas Pergerakan
   Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Parti.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman siswa.




Dr. H. Arif Rachman, M.Pd
http://www.dharmais.or.id/images/news/img_96_l.jpg  Tokoh pendidikan nasional ini lahir di Malang pada tanggal 19 Juni 1942. Sampai saat ini, dia masih menjadi tenaga pengajar di banyak tempat. Salah satu jabatannya saat ini adalah kepala pengembangan pendidikan labschool.“Yatim piatu dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Kalimat tersebut merupakan salah satu isi UUD 1945. Artinya, negara telah menjamin pemeliharaan fakir-miskin dan anak-anak terlantar. Tugas dan tanggung jawab tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, melainkan seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi kita yang dikaruniai rezeki berlebih.

Yayasan Dharmais merupakan salah satu wujud kepedulian kita terhadap sesama yang telah dibuktikan sejak 28 tahu silam. Badan sosial ini telah banyak menyalurkan bantuan kepada badan-badan sosial lainnya, seperti panti asuhan, panti werdha.
sekolah luar biasa, dan perorangan yang sungguh-sungguh memerlukan bantuan. Organisasi sosial ini telah mampu menghimpun kepercayaan yang besar dari seluruh elemen masyarakat sehingga tidak heran jika kemudian berhasil menghimpun dana yang pada gilirannya disalurkan kepada yang membutuhkan.
Untuk itu, sebagai bagian dari masyarakat, saya menyambut gembira penerbitan buku 28 tahun berdirinya Yayasan Dharmais. Buku ini tidak hanya menjadi bahan refleksi, evaluasi, dan wujud dedikasi terhadap negara. Namun, lebih diharapkan dapat memberi inspirasi bagi kita semua untuk berlomba-lomba membuat kebajikan bagi sesama sebagai wujud cinta-kasih dan semangat tolong-menolong.

Secara pribadi saya juga berharap agar buku ini sekaligus dapat menjadi potret bagi Yayasan Dharmais, bagaimanapun sejak awal berdirinya yayasan sosial ini telah memantapkan komitmen untuk terus konsisten pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berkat RA Kartini, Perempuan Indonesia Bisa Bersekolah

Oleh: Adrian saparuddin





ilustrasi



latar belakang IR Ajeng Kartini.

            Nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini. Ia lahir di Jepara 21 April 1879. Tak jelas siapa yang memberikan nama itu, tapi Pramudya dalam Panggil Aku Kartini yakin bahwa  ibunyalah yang memberikan nama.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat. Sewaktu RA Kartini dilahirkan, ayahnya berkedudukan sebagai wedono mayong, sedangkan ibunya adalah seorang wanita berasal dari desa Teuk Awur yaitu Mas Ajeng Ngasirah.
Kerja keras ayah Kartini menyebabkannya diangkat menjadi bupati, namun peraturan kolonial pada masa itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara.  Memiliki ayah seorang bangsawan, menyebabkan Kartini dapat mencicip sekolah sampai Kartini belajar bahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 hun, ia harus tinggal di rumah.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Akibatnya, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, yang pada masa itu berada pada status sosial yang rendah.
 Kartini banyak membaca surat kabar Semarang yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian. Ia juga rajin membuat catatan-catatan. Di dalam catatatan, ia menceritakan tentang emansipasi wanita, dan masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang tertulis. Selanjutnya, buku De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, dan sejumlah karya karangan Van Eeden, Augusta de Witt, Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder, yang semuanya berbahasa Belanda.

Kartini harus Menikah
            Usia menuntut Kartini harus menikah. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menyetujui dan menikah pada tanggal 12 November 1903.
Kecendekiaan Kartini yang ditanama sejak gadis membuatnya ingin mewujudkan sebuah sekolah untuk mendidik perempuan. Tujuannya agar perempuan bisa lebih baik, tak seperti dirinya yang sudah dipingit di usia 12 tahun, padahal setelah usia tersbeut, ia ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah Belanda, namun ditentang ayahnya.
Untunglah, suami Kartini mengerti keinginannya. Ia diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Ia pun mendirikan Sekolah Wanita di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini", dan menjadi bagian dalam Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Sikap Kartini membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.


Surat-surat Kartini

            Tak hanya itu, setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru, dengan pembagian buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya.
            Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
ilustrasi: Pemikiran Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia terasa sampai hari ini. Perempuan Indonesia dibolehkan mencicip pendidikan sampai tingkat paling tinggi. Menyongsong tanggal 21 April 2010, yang selalu diperingati sebagai hari Kartini, perlu kiranya kita membaca lagi tentang Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Buah pikirannya dikenal dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang", yaitu sebuah buku yang diterjemahkan dari bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar