Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo.
Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu
Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].
Ketika kecil
Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang
kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere
Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di
Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin
Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong
Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu
merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang
menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia
dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat -
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan
negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan
dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama
dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Mohammad Hatta
Dr.(H.C.). Drs. H. Mohammad
Hatta
|
|
|
|
Presiden
|
|
Pendahulu
|
Tidak ada, jabatan baru
|
Pengganti
|
|
|
|
Presiden
|
|
Pendahulu
|
|
Pengganti
|
|
|
|
Presiden
|
|
Pendahulu
|
|
Pengganti
|
|
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Kebangsaan
|
|
Partai politik
|
Non Partai
|
Suami/Istri
|
|
Anak
|
|
Agama
|
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung
Hatta, lahir di Fort de Kock, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi
Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator
kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang dan pendidikan
Hatta lahir
dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar
di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada
tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia
telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya
menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih
muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat
baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu
perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam
School of Commerce, kini menjadi Universitas
Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11
tahun.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor
Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato
pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Saat berusia
15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena
kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah
seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai
Bendahara. Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische
Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih
dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai
Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat
tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya
sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari
semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan
Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia,
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah. Masa muda awal krirnya.
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia
menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa
surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis
handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat
Aktivitas Pergerakan
Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak
berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa)
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker
(DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Parti.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera
kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini
kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia
dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat
dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung
tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi
teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan
ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di
sekolah-sekolah Perguruan Taman siswa.
Dr. H. Arif Rachman, M.Pd
|
Tokoh pendidikan nasional ini lahir di Malang pada
tanggal 19 Juni 1942. Sampai saat ini, dia masih menjadi tenaga pengajar di
banyak tempat. Salah satu jabatannya saat ini adalah kepala pengembangan
pendidikan labschool.“Yatim piatu dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Kalimat tersebut merupakan salah satu isi UUD 1945. Artinya, negara telah
menjamin pemeliharaan fakir-miskin dan anak-anak terlantar. Tugas dan
tanggung jawab tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, melainkan
seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi kita yang dikaruniai rezeki
berlebih.
Yayasan Dharmais merupakan salah satu wujud kepedulian kita terhadap sesama yang telah dibuktikan sejak 28 tahu silam. Badan sosial ini telah banyak menyalurkan bantuan kepada badan-badan sosial lainnya, seperti panti asuhan, panti werdha.
sekolah luar biasa, dan perorangan yang sungguh-sungguh
memerlukan bantuan. Organisasi sosial ini telah mampu menghimpun kepercayaan
yang besar dari seluruh elemen masyarakat sehingga tidak heran jika kemudian
berhasil menghimpun dana yang pada gilirannya disalurkan kepada yang
membutuhkan.
Untuk itu, sebagai bagian dari masyarakat, saya menyambut
gembira penerbitan buku 28 tahun berdirinya Yayasan Dharmais. Buku ini tidak
hanya menjadi bahan refleksi, evaluasi, dan wujud dedikasi terhadap negara.
Namun, lebih diharapkan dapat memberi inspirasi bagi kita semua untuk
berlomba-lomba membuat kebajikan bagi sesama sebagai wujud cinta-kasih dan
semangat tolong-menolong.
Secara pribadi saya juga berharap agar buku ini sekaligus dapat menjadi potret bagi Yayasan Dharmais, bagaimanapun sejak awal berdirinya yayasan sosial ini telah memantapkan komitmen untuk terus konsisten pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berkat RA Kartini, Perempuan Indonesia Bisa Bersekolah
Oleh: Adrian saparuddin
|
|
|
latar belakang IR
Ajeng Kartini.
Nama lengkapnya Raden Ajeng Kartini. Ia lahir di Jepara 21 April 1879. Tak jelas siapa yang memberikan nama itu, tapi Pramudya dalam Panggil Aku Kartini yakin bahwa ibunyalah yang memberikan nama. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat. Sewaktu RA Kartini dilahirkan, ayahnya berkedudukan sebagai wedono mayong, sedangkan ibunya adalah seorang wanita berasal dari desa Teuk Awur yaitu Mas Ajeng Ngasirah.
Kerja keras
ayah Kartini menyebabkannya diangkat menjadi bupati, namun peraturan kolonial
pada masa itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi
dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah
perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara. Memiliki ayah seorang bangsawan, menyebabkan Kartini dapat
mencicip sekolah sampai Kartini belajar bahasa Belanda, tetapi setelah usia 12
hun, ia harus tinggal di rumah.
Karena
Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku,
koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan
Eropa. Akibatnya, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, yang
pada masa itu berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang
yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket
majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat
majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali
mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian. Ia juga
rajin membuat catatan-catatan. Di dalam catatatan, ia menceritakan tentang
emansipasi wanita, dan masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita
agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari
gerakan yang tertulis. Selanjutnya, buku De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)
karya Louis Coperus, dan sejumlah karya karangan Van Eeden, Augusta de Witt,
Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder, yang
semuanya berbahasa Belanda.
Kartini harus Menikah
Usia menuntut Kartini harus menikah. Oleh orangtuanya,
Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menyetujui
dan menikah pada tanggal 12 November 1903.
Kecendekiaan Kartini yang ditanama sejak gadis membuatnya ingin mewujudkan sebuah sekolah untuk mendidik perempuan. Tujuannya agar perempuan bisa lebih baik, tak seperti dirinya yang sudah dipingit di usia 12 tahun, padahal setelah usia tersbeut, ia ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah Belanda, namun ditentang ayahnya.
Kecendekiaan Kartini yang ditanama sejak gadis membuatnya ingin mewujudkan sebuah sekolah untuk mendidik perempuan. Tujuannya agar perempuan bisa lebih baik, tak seperti dirinya yang sudah dipingit di usia 12 tahun, padahal setelah usia tersbeut, ia ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah Belanda, namun ditentang ayahnya.
Untunglah,
suami Kartini mengerti keinginannya. Ia diberi kebebasan dan didukung
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka. Ia pun mendirikan Sekolah Wanita di Semarang pada 1912, dan kemudian
di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah "Sekolah Kartini", dan menjadi bagian dalam Yayasan
Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Sikap
Kartini membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar
yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Surat-surat Kartini
Tak hanya itu, setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Pada tahun
1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru, dengan pembagian buku
menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
ilustrasi: Pemikiran Kartini untuk
memajukan perempuan Indonesia terasa sampai hari ini. Perempuan Indonesia
dibolehkan mencicip pendidikan sampai tingkat paling tinggi. Menyongsong
tanggal 21 April 2010, yang selalu diperingati sebagai hari Kartini, perlu
kiranya kita membaca lagi tentang Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh Jawa dan
Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan
pribumi. Buah pikirannya dikenal dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang",
yaitu sebuah buku yang diterjemahkan dari bahasa Belanda Door Duisternis Tot
Licht.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar